Download

Buya Hamka Menasihatiku tentang Poligami



(Dialog Imajiner dengan Buya Hamka di Tepi Danau Maninjau)
Pagi yang dingin, udara sejuk berpadu gerimis rintik. Aku terpana memandangi Danau Maninjau yang luas. Berdiri di tepi danau ini, telah mengingatkanku pada sosok ulama besar Indonesia yang sangat menginspirasiku. Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka, ya benar. Seorang ulama kharismatik sekaligus budayawan dan sastrawan, penyusun kitab Tafsir Al Azhar. Beliau lahir di tepian Danau Maninjau ini, tepatnya di Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Rumah itu kini menjadi museum bersejarah milik bangsa, yang diberi nama "Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka".

Merenung di pinggir Danau Maninjau, aku kembali diingatkan kata demi kata Tafsir Al Azhar. Ada bagian tertentu yang sangat menginspirasiku selama ini. Tentang poligami, sebuah tema yang terlalu sensitif untuk dibicarakan. Penjelasan Buya Hamka tentang makna surat An Nisa’ ayat ke-3, seakan-akan tengah berbicara kepadaku. Aku merasa digamit tangan halus beliau. Aku merasa beliau berbicara langsung kepadaku, menasihatiku. Sembari berdiri di tepi Danau Maninjau, seakan beliau menggandeng tanganku dan menyampaikan banyak nasihat berharga bagiku.

Mata kami berdua menerawang jauh menembus kabut pagi yang pekat. Memandang barisan bukit yang berjajar indah di seberang danau. Wajah Buya yang lembut dan teduh membuatku terlarut dalam kekhusyukan. Suara beliau yang serak namun halus dan tegas, membuatku mencerna setiap bulir nasehat yang beliau sampaikan. Beruntung aku bertemu beliau, yang bukan saja guru, namun Buya adalah sosok kakek bagiku.

“Jauh-jauh dari Yogyakarta, kamu hanya ingin bertanya soal poligami? Dasar laki-laki...” Buya mengawali obrolan sambil tersenyum padaku.

Wajahku memerah, malu, mendengar pertanyaan halus beliau, yang bagiku lebih terdengar sebagai sindiran.

“Bukan saja untuk saya, Buya. Di ruang konseling, banyak masalah keluarga yang kami temui, dari keluarga yang melakukan poligami. Kami sering mendengar jeritan hati yang terluka, dan kami menjadi harus semakin berhati-hati dalam menangani masalah seperti ini...” jawabku, membela diri.

“Hmmmm.... Tapi kamu juga pengen melakukannya bukan? Tidak apa, Cahyadi, karena memang itu dibolehkan oleh syara’. Yang penting kamu melakukannya dengan baik dan benar,” lanjut Buya.

“Saya akan berusaha, Buya...” jawabku lirih.

"Jadi sebelum kamu terlanjur menempuh hal yang dibolehkan oleh syara’ itu, pikirkan soal keadilan itu lebih dulu, Cahyadi..." Buya tampak serius saat memulai kalimat ini. Aku menjadi tercekat, tidak tahu akan berkata apa.

“Buya, tapi kan....”

"Orang beriman mesti berpikiran sampai ke sana, Cahyadi. Jangan hanya terdorong nafsu melihat perempuan yang kamu senangi saja," Buya memotong pertanyaanku. Seakan beliau sudah tahu apa yang akan aku sampaikan.

Aku menunduk dalam, tidak berani menatap wajah beliau. Angin sejuk Danau Maninjau menerpa wajah kami, membuatku betah ingin terus mendengar nasehat beliau. Di seberang danau, barisan bukit mulai tampak lebih jelas. Kabut pagi yang menghalangi perlahan tersingkap sinar matahari.

"Mengakadkan nikah adalah hal yang mudah, Cahyadi... Sebab itu, kalau kamu takut akan berlaku tidak adil pula beristeri banyak, lebih baik satu orang sajalah. Dengan demikian kamu akan aman....", suara Buya tampak berat, namun sangat berwibawa.

Aku hanya diam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami apa yang beliau pesankan. Tausiyah ini sangat berharga bagiku, karena lahir dari seorang ulama besar yang sangat bijak.

Buya masih melanjutkan cerita, kali ini beliau bertutur tentang nasehat salah seorang gurunya.

"Seorang di antara guruku yang beristeri lebih dari satu pernah memberi nasihat kepadaku waktu aku masih muda, "Cukuplah isterimu satu itu saja wahai Abdul Malik! Aku telah beristeri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi."

Buya menghela nafas panjang. Seakan ada beban berat yang ingin beliau keluarkan lewat cerita ini.

"Guruku itu mengatakan: Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua, karena kesalahan mereka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Tetapi aku siang-malam menderita bathin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati."

"Bagi orang lain hal ini mudah saja. Kalau tidak senang kepada salah satu, cari saja sebab kecil, lalu lepaskan, maka terlepaslah diri dari beban berat. Kalau terjadi demikian, kita telah meremuk-redamkan hati seorang ibu yang ditelantarkan."

"Janganlah beristeri lebih dari satu hanya dijadikan semacam percobaan, sebab kita berhadapan dengan seorang manusia, jenis perempuan. Hal ini menjadi sulit bagiku, karena aku adalah aku, karena aku adalah gurumu dan guru orang banyak."

"Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdul Malik. Aku ingin engkau bahagia! Aku ingin engkau jangan membuat kesulitan bagi dirimu. Peganglah ayat Tuhan: Yang demikian itu lebih dekat supaya kamu tidak berlaku aniaya.” (Al Quran, surat An-Nisa’ ayat 3).

Beliau terdiam. Wajah beliau tetap sejuk dan tenang. Pandangan beliau masih terarah ke barisan bukit yang sekarang sudah tampak jelas karena ditinggalkan kabut pagi.


Perlahan, beliau menatapku. Mata beliau sangat bening, melihatku dengan tajam. Aku merasa berdebar mendapat tatapan seperti itu. Genggaman tangan beliau terasa semakin kuat.
"Cahyadi, nasihat guruku ini alhamdulillah dapat aku pegang hingga akhir hayatku. Aku ingin engkau selalu mengingatnya..."

Aku tetap diam saja sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mendengar nasehat beliau dengan seksama.

“Aku tidak melarangmu melakukan poligami, Cahyadi. Aku hanya ingin engkau selalu mengingat nasihat guruku tadi...."

Aku menghela nafas panjang. Tidak tahu akan mengatakan apa.

Percik air dan desir angin Danau Maninjau membuyarkan perenunganku. Istri setiaku mengingatkanku untuk segera bersiap pulang.

Hari telah beranjak siang.

0 Response to "Buya Hamka Menasihatiku tentang Poligami"

Post a Comment

Artikel Terbaru